Aahh.....akhirnya saya bisa masukin postingan lagi setelah empat hari off tidak menyentuh blog tercinta ini. Bukan lagi marah, bete or males untuk nge-blog tapi empat hari yang lalu saya harus pulang kampung ke Bogor. Biasa lah jadwal rutin dua mingguan...kunjungan kerja hehehe gaya banget ya. Mudah-mudahan Daemors tidak baca postingan ini, kalau sampai dia tahu saya ke Bogor tapi gak ngasih tahu pasti dia kesel (punten nya D).
Rencana saya dua hari di Bogor ternyata molor sampai empat hari, kenapa coba? Saya kena sindrom “Betah”. Iya lah secara Bogor itu kota kelahiran dan tempat saya tumbuh, dan yang pasti karena saat ini sedang musim hujan bikin hawa di sana “suejuk bin adeemm beneerr ..!!” yang membuat saya betah dan males untuk pulang ke Tangerang. Untung lah akhirnya saya sadar kehidupan saya saat ini ada di Tangerang jadi dengan sangat terpaksa hari rabu kemarin (25/11) saya pulang ke Tangerang hehehe.
Ngomongin kota Bogor banyak sekali perubahan terjadi di kota kelahiran saya ini. Pembangunan pesat telah mengubah sebagian wajah dari kota. Perubahan tidak hanya secara fisik tapi juga hal lain seperti budaya warganya. Secara fisik banyak bangunan baru bermunculan di Bogor terutama yang bersifat komersil yaitu pusat perbelanjaan/mall, factory outlet dan restoran/kafe. Sedangkan fasilitas infrastruktur baru yang berfungsi untuk kebutuhan masyarakat bisa dihitung jumlahnya.
Tahun 1993 saat masih SMP, setiap saya berangkat ke sekolah yang berlokasi di pusat kota, saya masih bisa melihat kabut tipis menyelimuti Bogor di pagi hari. Sedangkan hari ini boro-boro melihat kabut yang ada jam enam pagi di Bogor sinar matahari sudah terang benderang. Udara Bogor sudah tidak sejuk seperti dulu, hanya saat turun hujan Bogor baru terasa sejuk. Dulu juga saya jarang sekali melihat kemacetan di jalanan kota Bogor, tapi hari ini kemacetan sudah jadi santapan warga Bogor sehari-hari. Jumlah kendaraan tidak seimbang dengan ruas jalan yang tersedia. Kendaraan bertambah terus tapi tidak dengan ruas jalannya. Hal ini seiring pula dengan pertambahan jumlah penduduk kota Bogor yang sangat signifikan. Maaf ya bukan saya menyalahkan pendatang baru karena orangtua saya juga pendatang, tapi salah satu faktor pertambahan jumlah penduduk di Bogor adalah banyaknya pendatang baru.
Saya sih maklum, secara pandangan banyak pendatang bahwa kota Bogor adalah tempat yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Iyalah hawanya sejuk, banyak pohon rindang, airnya bersih dll, makanya banyak menarik minat orang untuk tinggal di Bogor. Maka maraklah pembangunan perumahan-perumahan baru di sekitar kota Bogor. Area yang dulunya sawah dan kebun sekarang menjadi perumahan. Contoh kongkrit ya di sekitar rumah saya, tahun 1980 perumahan tempat saya tinggal adalah satu-satunya di kawasan desa Curug Mekar. Namun periode 1990 s/d 2000 tiga perumahan baru muncul mengapit perumahan saya. Semuanya menghabiskan lahan sawah dan kebun yang dulu merupakan tempat saya bermain dan nyair(bhs Sunda- mencari ikan) bersama teman-teman.
Mayoritas pendatang baru berasal dari kota Jakarta, maka budaya penduduk kota Jakarta yang individualis dan hedonis menular juga di kota Bogor. Saat ini banyak ditemui antar warga di suatu perumahan atau kampung tidak kenal satu sama lain. Atau banyak orang bersifat masa bodoh jika melihat orang lain baik yang dikenal atau tidak terkena musibah. Padahal dulu saya merasakan kekerabatan antar warga Bogor sangat erat.
Sedangkan budaya Hedonis mendorong munculnya pusat perbelanjaan/mall, Factory Outlet dan kafe-kafe. Tahun 1990-an hanya ada dua pusat perbelanjaan yaitu Internusa Plaza (sekarang Pangrango Plaza) dan Dewi Sartika Plaza. Tapi lihatlah sekarang di jalan Pajajaran dari ujung satu sampai ke ujung yang lainnya bertebaran pusat perbelanjaan/mall, Factory Outlet dan kafe. Maka jadilah warga Bogor sekarang menjadi sangat konsumtif, belum afdol rasanya jika belum belanja atau sekedar jalan-jalan cuci mata di mall atau FO. Di akhir pekan sepanjang jalan tersebut kendaraan berjalan padat merayap, terkadang sampai macet malah.
Pembangunan infrastruktur sendiri tidak bisa dibandingkan dengan pembangunan tempat komersil. Pembangunan jalan baru hanya ada di Ring Road Yasmin, Bubulak, lainnya hanya pelebaran serta pembangunan under pass di jalan Soleh Iskandardinata. Beberapa ruas jalan sudah mulai rusak malah. Jalan raya Semplak terutama di depan mesjid At Taqwa rusak berat menghambat para pemakai jalan yang melintas disana. Kerusakan ini sudah berlangsung lama kurang lebih dua tahun. Sampai saat ini belum ditangani oleh pemerintah setempat.
Pembangunan memang selalu membawa dilema tersendiri, di satu sisi membawa manfaat ekonomis bagi sebagian orang namun disisi lain memberikan dampak negative bagi lingkungan maupun sosial masyarakat. Saya hanya bisa berdoa semoga sedikit banyak masih ada ciri kota Bogor yang dapat dipertahankan baik itu secara fisik maupun budayanya. Agar generasi penerus dapat mengetahui secara riil bukan hanya mendengar cerita atau dongeng tentang Bogor di masa lalu dari para orang tuanya. I Love Bogor, dulu, kini dan seterusnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bener!!! Kesel Sayah!!. Knapa gak bilang2 kalo mau balik dul! Kangen saya sama dikau. Haalah.
ReplyDeleteYaahh Gung.. beginilah keadaan Bogor Kita Tercintah, padet-sepadet padetnya. Jadi agak2 males kalo mau jalan2. Kalau ke Bogor pun gw juga palingan cuma ke AirMancur.
Hidup INTER.. (haalah..ieu deui) :P
Anyway, naha ngan urang hungkul nu komen ieu teh??
Hehehe...urang tara blog walking euy. Beberapa hari ini banyak acara (gaya pisan nya). Jd blm meninggalkan jejak lagi di blog batur. Ke AirMancur nempo ABG yeuh :P bagus lah biar tetap muda jiga Syekh Puji wakakak..!!
ReplyDelete